TAUHID DAN
TANTANGAN GLOBALISASI
Tauhid adalah inti dari ajaran Islam. Secara etimologi,
tauhid berasal dari bahasa Arab “wahhada-yuwahhidu” yang berarti
mengesakan. Secara terminologi, tauhid berarti mengesakan Allah SWT baik dalam
zat, sifat, dan perbuatan-Nya (Yunahar Ilyas, 2007. h. 18).
Teori ilmu kalan (teologi Islam) membagi tauhid menjadi
tiga. Pertama, tauhid rububiyyah, yakni mengesakan Allah SWT sebagai
satu-satunya pencipta dan pemelihara alam semesta. Termasuk dalam pengertian
ini adalah pengakuan bahwa Allah SWT adalah satu-satunya pemberi rezeki bagi
semua makhluk di alam semesta. Dalam QS. Fathir (35): 3, Allah SWT berfirman: “Hai
Manusia, ingatlah akan nikmat Allah yang diberikan kepadamu. Adakah pencipta
lain selain Allah yang dapat memberikan rezeki kepadamu dari langit dan bumi?
Tidak ada Tuhan yang berhak disembah) kecuali Dia. Maka mengapa kamu berpaling
(dari mengesakan-Nya)?”
Kedua, tauhid mulkiyyah, yakni mengesakan Allah
SWT sebagai satu-satunya pemilik dan penguasa alam semesta. Tauhid
milkiyyah ini menekankan eksistensi manusia sebagai hamba (mamluki) dari
Yang Maha Raja, sehingga manusia harus senantiasa tunduk taat dan
kepada-Nya. Allah SWT berfirman dalam QS. Al-Maidah (5): 120: “Kepunyaan
Allah-lah kerajaan langit dan bumi dan apa yang ada di dalamnya; dan Dia Maha
Kuasa atas segala sesuatu”.
Ketiga, tauhid ilahiyyah, yaitu mengesakan Allah
SWT sebagai satu-satunya Zat yang berhak disembah oleh segenap makhluk di alam
raya. Termasuk dalam pengertian ini adalah meyakini bahwa hanya Allah SWT-lah
satu-satuanya pelindung sejati bagi semua makhluk. Allah SWT berfirman dalam
QS. Thaha (20): 14: “Sesungguhnya Aku ini adalah Allah. Tidak ada tuhan
selain Aku. Maka sembahlah Aku dan dirikanlah shalat untuk mengingat-Ku”.
Ketiga jenis tauhid ini merupakan satu kesatuan keyakinan
yang tak terpisahkan dan wajib diterapkan oleh kaum beriman dalam kehidupan
sehari-hari. Dengan kata lain, seorang yang mengaku percaya kepada Allah SWT,
maka pada saat yang sama ia harus meyakini bahwa Allah SWT adalah satu-satunya
pencipta, penguasa, pelindung dan Tuhan yang berhak disembah di alam semesta
ini.
Bertauhid di Era Globalisasi
Di awal abad 20, tantangan umat beriman adalah merebaknya
praktik-praktik bid’ah, takhayyul dan khurafat. Saat itu, kehidupan masyarakat
masih kental diwarnai oleh sisa-sisa keyakinan terhadap animisme dan dinamisme.
Kepercayaan terhadap kekuatan-kekuatan supranatural membuat banyak orang Islam
ketika itu melakukan kegiatan-kegiatan berbau syirik. Misalnya menyalakan
kemenyan di hari-hari tertentu, menyepi ke tempat-tempat keramat, memelihara
jimat, dll. Praktik-praktik seperti inilah yang dahulu coba diberantas oleh
pendiri Muhammadiyah, K.H. Ahmad Dahlan dan kawan-kawan.
Agak berbeda dengan hal tersebut di atas, tantangan
tauhid di abad 21 lebih komples. Era globalisasi yang dialami manusia modern
menciptakan tuhan-tuhan modern yang lebih canggih dan menggoda. Globalisasi
dapat dipahami sebagai sebuah proses dimana orang-orang di seluruh dunia
dipersatukan dalam sebuah komunitas tunggal, baik secara ekonomi, teknologi,
sosial budaya dan politik. Dalam globalisasi, batas-batas teritorial
antarnegara memang masih ada, namun sudah tidak lagi signifikan untuk
memisahkan koneksitas kehidupan yang ada di dalamnya. Jarak, ruang dan waktu
menjadi tidak lagi memisahkan komunikasi manusia-manusia di belahan bumi
berbeda. Ini artinya, apa yang terjadi di satu belahan bumi dapat segera
didengar, diketahui, bahkan mempengaruhi belahan bumi yang lain.
Di satu sisi, dampak globalisasi memunculkan efek-efek
positif. Komunikasi yang lebih cepat, hemat, dan efektif merupakan salah satu
manfaatnya. Namun di sisi lain, globalisasi juga menawarkan tantangan-tantangan
yang justru dapat menjungkirbalikkan nilai-nilai tauhid dan religiusitas kaum
beriman. Salah satu di
antara tantangan globalisasi adalah materialisme.
Tidak dapat dipungkiri, materialisme
kini menjadi salah satu “tuhan” yang disembah oleh manusia-manusia modern.
Nilai-nilai spiritual terabaikan, sementara prestasi-prestasi material menjadi
berhala-berhala baru. Di Indonesia, materialisme bahkan menjadi orientasi
pembangunan selama bertahun-tahun. Orientasi yang materialistik ini menjadikan segala bentuk
keberhasilan diukur dari angka-angka. Akibatnya, kerja keras yang telah kita
pertaruhkan selama beberapa dekade nyaris berbuah nihilisme. Apa yang
dikejar-kejar bangsa kita ternyata sekedar kesemuan. Tidak hanya dalam
proyek-proyek pembangunan fisik, tapi juga proyek-proyek pembangunan nonfisik.
Di dunia pendidikan misalnya,
siswa-siswa kita diperas energinya siang malam untuk sebuah “angka”. Kerja
keras para guru dan orang tua dalam bentuk les-les tambahan di luar sekolah
menjadi indikasi materialisme dalam sistem pendidikan kita. Orientasi
belajar anak diarahkan pada perolehan target-target formal. Tanpa kita sadari,
kita telah melakukan pengerdilan potensi kemanusiaan.. Bangsa kita sedang
bekerja keras mencetak robot-robot masa depan “zonder” nilai-nilai kemanusiaan.
Tidak hanya itu, pemahaman keagamaan
kita ikut-ikutan hanya pada dataran formal. Asal sudah “berbau” agama, seakan
sudah dianggap religius. Tidak ada implikasi keagamaan dalam realitas sosial.
Pelajaran agama di sekolah-sekolah berorientasi pada aspek-aspek kognitif.
Sementara aspek afektif dan psikomotorik kurang mendapat penekanan. Polanya
cenderung mengacu pada transfer pengetahuan, dan bukan pengamalan.
Rapuhnya struktur sosial bangsa kita
saat ini merupakan buah dari target-target materialisme itu. Sopan santun
hilang, etika melayang, dan kekerasan merajalela di mana-mana. Rasa hormat pada
orang tua dan guru menjadi barang langka. Tawuran antarpelajar menjadi tontonan
gratis di jalan-jalan. Kepercayaan masyarakat pada pemerintah dan hukum tinggal
kenangan. Perampokan, penjarahan, dan penipuan tidak cuma dilakukan masyarakat
lapisan bawah, tapi juga oleh kelompok manusia berdasi.
Di sisi lain, sekularisme menjadi
fenomena yang tak terbantahkan. Banyak manusia modern yang tanpa sadar
memisahkan antara urusan agama dengan urusan dunia. Ibadah ditegakkan, namun
kejahatan kemanusiaan juga dilestarikan. Tidak heran, kendati jumlah jamaah
haji terus mengalami peningkatan dari tahun ke tahun, namun praktik korupsi pun
bak cendawan di musim hujan.
Orientas-orientasi
materialisme–sekularisme inilah yang kemudian tanpa sadar mengantarkan banyak
manusia modern kepada penghambaan terhadap nafsu-nafsu duniawi. Menghamba
kepada kepentingan ekonomi, kekuasaan, prestise, dan kepentingan-kepentingan
lain yang berlandaskan hawa nafsu. Allah SWT menyindir dalam QS. Jatsiyah: 23: “Maka
pernahkah kamu melihat orang yang menjadikan hawa nafsunya sebagai tuhannya dan
Allah membiarkannya sesat berdasarkan ilmu-Nya dan Allah telah mengunci mati
pendengaran dan hatinya dan meletakkan tutup atas penglihatannya? Maka siapakah
yang akan memberinya petunjuk sesudah Allah (membiarkannya sesat)? Maka mengapa
kamu tidak mengambil pelajaran?.
Karena itu, pemurnian tauhid di tengah
arus globalisasi menjadi sebuah keniscayaan yang harus dilakukan oleh manusia
modern. Setiap penghambaan terhadap “tuhan-tuhan” materi perlu segera
dibersihkan dari lubuk hati kaum beriman. Dan Allah SWT harus dijadikan sebagai
satu-satunya orientasi kehidupan yang sejati, karena Dia adalah satu-satunya
Pencipta dan Harapan (tauhid rububiyyah), satu-satunya Pemilik dan Penguasa
alam raya (tauhid mulkiyyah), dan satu-satunya Zat yang berhak disembah oleh
manusia dan seluruh makhluk di alam semesta (tauhid uluhiyyah). Wallahu A’lam.
0 komentar:
Posting Komentar